Oleh Nurwahid, Wartawan Jawa Pos
JawaPos.com – Naik tol Waru di perbatasan Surabaya-Sidoarjo, Jawa Timur, pukul 12.00, keluar tol Colomadu di sebelah barat Kartasura, Jawa Tengah, pukul 15.00. Itu cerita mudik tahun lalu.
Ketika tol trans-Jawa ruas Solo-Surabaya untuk kali pertama dioperasikan. Ketika sebagian ruasnya masih berstatus fungsional. Surabaya ke Kartasura, kota kecil di barat Solo, hanya ditempuh dalam tiga jam.
Dengan jarak sekitar 250 km.
Sebagian masih tidak percaya. “Benarkah kita sudah sampai Boyolali?” ujar istri yang duduk di samping saya.
Ya, pintu tol Colomadu itu sebenarnya memang sudah berada di wilayah Boyolali. Kampung halaman saya. Yang berada di lereng Gunung Merapi itu. Yang hanya 20 menit dari pintu tol Colomadu. Entah kenapa diberi nama pintu tol Colomadu. Padahal, Colomadu masuk Kabupaten Karanganyar.
Perjalanan dari Surabaya ke Boyolali tuntas dalam 3 jam tentu surprise luar biasa. Sebab, kami biasa menempuhnya sekitar 8 jam. Melalui jalur biasa. Itu pun kalau situasi normal.
Memang, kami pernah mencapai rekor. Surabaya-Boyolali 5,5 jam. Lewat jalur biasa. Tapi, itu terjadi pada 2006. Ketika lalu lintas tidak seramai sekarang. Dan, berangkat dari Surabaya pukul 00.00. Saat lalu lintas paling sepi.
Namun, dalam 6-7 tahun belakangan, waktu tempuh 8 jam itu sudah sangat bagus. Apalagi pada momen mudik Lebaran. Hanya orang-orang beruntung yang bisa tetap menempuhnya dalam 8-10 jam. Beruntung dalam memilih jalur. Termasuk jalan-jalan alternatif yang menghindarkan dari kemacetan di jalur utama.
Jalur alternatif pun terkadang kondisinya lebih parah. Saya pernah menghabiskan waktu dua hari dari Surabaya ke Boyolali. Itu terjadi pada Lebaran 2016.
Cerita semacam itu tentu tidak akan terjadi lagi saat ini. Saat sebagian besar jalur trans-Jawa sudah tuntas. Mulus. Apalagi di jalur mudik saya. Surabaya-Boyolali. Yang pada hari biasa rata-rata saya tempuh selama 2 jam 15 menit atau paling lama 2,5 jam.
Saya sendiri merasa berjodoh dengan jalur baru ini. Begitu jalur itu tuntas dibangun, saya termasuk yang paling sering memanfaatkannya. Ya, sejak Februari lalu, karena urusan pekerjaan, seminggu sekali saya melewati tol Surabaya-Solo. Pun sebaliknya.
Beberapa kali bahkan sampai Semarang. Bila dihitung, dalam empat bulan terakhir, setidaknya saya sudah 16 kali ke arah Solo, dan 16 kali ke arah Surabaya. Semua lewat tol. Terakhir menuju Solo Senin siang (27/5) dan menuju Surabaya kemarin malam (Rabu malam, 29/5).
Selama menggunakan jalur tol ini, hampir seluruh waktu pernah saya coba. Pernah selepas subuh, pagi, siang, sore, bahkan tengah malam. Tapi, dari semua waktu itu, paling nyaman adalah pagi hari selepas subuh. Udara masih segar, badan masih fresh, dan yang lebih penting, mata ini tidak perlu berjuang untuk menaklukkan pantulan cahaya matahari dari cor beton yang menjadi landasan utama jalan tol trans-Jawa.
Malam juga nyaman. Tapi, yang memiliki masalah dengan penglihatan atau lampu kendaraannya tidak memadai sebaiknya menghindarinya. Sebab, di sepanjang jalur tersebut tidak ada lampu penerangan. Kecuali di sekitar gate dan rest area.
Sedangkan waktu yang paling saya hindari justru tengah hari. Saat matahari sedang terik-teriknya. Panasnya minta ampun. Tak satu pun pohon berdiri di pinggir jalur yang sangat panjang ini. Pengguna jalan harus melawan panas dari dua arah. Dari atas melawan sinar matahari, dari bawah dengan terpaksa menatapkan mata ke permukaan jalan berwarna keputih-putihan yang tak kalah menyilaukan.
Karena itu, pengguna jalan yang memilih melintas saat siang sebaiknya menyiapkan kacamata pelindung. Dan, yang tidak kalah penting, lebih sering mampir rest area untuk mendinginkan ban. Sebab, ban sering menjadi masalah yang berakibat fatal, tanpa memberi peringatan lebih dulu. Sepanjang jalur tersebut, tak terhitung banyaknya, goresan warna hitam bekas pecahnya ban. Baik yang menggaris di beton pembatas maupun menempel di permukaan jalan.
Sebenarnya, bila mengendarai mobil sambil santai, banyak yang bisa dinikmati di sepanjang jalur ini. Mulai masuk tol di Warugunung (dari arah Surabaya) hingga Solo, di kanan dan kiri, terbentang tanaman padi yang hijau. Di beberapa titik diselingi tumbuhan lain yang sama hijaunya. Misalnya, tanaman bawang merah di kawasan Nganjuk.
Atau, hutan jati di kawasan Saradan dan Ngawi. Bila perjalanan dilakukan setelah subuh, lebih indah lagi. Misalnya, ketika melewati ruas Ngawi-Sragen dan sebaliknya, bisa menyempatkan untuk sesekali menengok ke arah selatan. Gunung Lawu menampakkan keindahannya. Ditambah kabut tipis yang sering turun ikut menyambut pengguna jalan.
Secara umum, jam berapa pun akan melintas di jalur ini, tidak ada masalah. Terutama pada masa musim mudik ini. Sebab, pemerintah bersama operator jalan tol tampak all-out menyiapkan segala sesuatunya.
Oh, iya. Ada satu lagi. Harus menyiapkan kartu e-toll yang banyak isinya. Sebab, tarif untuk melintasi jalur ini mahal banget. Saya sendiri hingga saat ini tidak pernah tega melihat layar monitor seusai membayar di pintu keluar tol.
Kalau saya lihat, nanti yang terbayang pasti, isi kartu e-toll saya sudah berkurang sekian ratus ribu rupiah. Kemudian, saya akan mengalikannya empat kali PP selama sebulan. Daripada membayangkan yang tidak enak, lebih baik saya merem (memejamkan mata) saat menempelkan kartu e-toll.
Kalau itu beres, insya Allah semua lancar. Kebutuhan akan BBM, makan, minum, toilet, atau minimarket, semua tersedia. Di sepanjang jalur Surabaya-Solo saja, terdapat sembilan rest area. (*)
Sumber : http://bit.ly/2VZYKOw
Komentar
Posting Komentar