JawaPos.com – Pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui kedutaan besarnya telah mengumumkan tentang rekam biomentrik. Kini rekam biomentrik tidak menjadi syarat penerbitan visa haji dan umrah atau pun kunjungan lain ke Arab Saudi.
Pengumuman tersebut disambut positif oleh berbagai pihak, terutama para calon jamaah haji dan umrah yang berada di wilayah-wilayah kepulauan atau lokasi terpencil yang kesulitan untuk menjangkau pusat-pusat perekaman biometrik.
Namun demikian Kementerian Agama mengingatkan bahwa kebijakan rekam biometrik yang ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan Saudi Arabia tidak dibatalkan. Yang dibatalkan adalah rekam biometrik sebagai syarat penerbitan visa haji dan umrah.
“Kebijakan biometrik itu awalnya merupakan dari proses pengajuan visa. Jadi orang yang dapat visa adalah orang yang sudah direkam biometriknya. Per 22 April kemarin ada pengumuman dari Kedutaan Besar Arab Saudi bahwa biometrik bukan lagi bagian dari proses pengajuan visa. Jadi kebijakan biometriknya tidak dibatalkan,” kata Nasrullah Jasam selaku Kasubdit Dokumen dan Perlengkapan Haji Reguler Kemenag, Selasa 30/4).
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebelumnya menetapkan bahwa rekam biometrik adalah mandatory atau wajib bagi siapa saja yang hendak mengajukan visa haji dan umrah untuk pemberangkatan jamaah per 17 Desember 2018. Artinya, tanpa rekam biometrik, calon jamaah haji atau umrah tidak akan mendapatkan visa.
Dengan pengumuman bahwa biometrik tidak menjadi syarat penerbitan visa, maka jamaah haji atau umrah bisa saja melakukan rekam biometrik pada saat ketibaan di Jeddah atau Madinah.
“Tapi hal ini mungkin akan sangat merepotkan karena jamaah nantinya harus mengantre hingga berjam-jam akibat harus dua kali antre, yakni di tempat rekam biometrik dan kemudian di gerbang imigrasi,” ujarnya.
Untuk itu, kata Nasrullah, pemerintah mengusahakan agar semua jamaah haji Indonesia tahun ini melakukan rekam biometrik di dalam negeri. Apalagi sudah 160 ribuan calon jamaah haji yang melakukan rekam biometrik. Jadi sebanyak 60 ribuan jamaah sisanya akan melakukan rekam biometrik di embarkasi haji sebelum keberangkatan.
Menurut dia, sebanyak 60-ribuan jamaah tersebut rata-rata berasal dari wilayah kepulauan seperti Natuna, Anambas, Tanjung Selor dan Bangka Belitung, atau dari daerah terpencil di Kalimantan Timur, Papua dan Papua Barat.
“Sisanya sekitar 60 ribuan akan melakukan rekam biometrik di embarkasi. Jadi mereka yang sudah masuk asrama sudah santai. Nanti dipanggil satu-satu sambil berangkat ke bandara karena dari embarkasi sudah melalui proses imigrasi semua, langsung naik pesawat,” katanya.
Perubahan kebijakan pemerintah Arab Saudi yang mendadak dan berlaku di seluruh dunia ini perlu diantisipasi dengan baik oleh pemerintah, tidak hanya untuk pelaksanaan ibadah haji 2019 tapi juga untuk pelaksanaan ibadah umrah ketika musim haji sudah selesai.
Jika perekaman biometrik tersebut dilakukan pada saat ketibaan, para jamaah Indonesia akan mengantre bersama-sama dengan jamaah dari negara-negara lain untuk melakukan perekaman biometrik tersebut.
Antre selama 3-4 jam setelah menempuh perjalanan udara selama 9 jam akan sangat melelahkan bagi para jamaah. Terutama mereka yang sudah lanjut usia. Jamaah juga akan merasa tidak nyaman berdiri berjam-jam di tempat dengan akses komunikasi yang sulit serta keterbatasan menggunakan fasilitas umum seperti toilet, sehingga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan yang bisa mengganggu kelancaran pelaksanaan ibadah haji.
“Jadi perekaman biometrik di dalam negeri bisa menjadi tindakan antisipatif terhadap berbagai ketidakpastian jika perekaman biometrik dilakukan di bandara kedatangan. Ini juga bisa menjadi bentuk tanggungjawab pemerintah untuk melindungi jamaah haji warga negara Indonesia,” terang Nasrullah.
Sumber : http://bit.ly/2GRRfF0
Komentar
Posting Komentar