JawaPos.com – Surplus listrik membuat PT PLN terus berusaha mengerek konsumsi setrum nasional dengan memberikan sejumlah insentif. Setelah memberikan diskon tarif Rp 52 per kWh bagi pelanggan rumah tangga 900 VA, perusahaan pelat merah itu kini memperpanjang diskon tarif industri 30 persen pada pukul 23.00–08.00 WIB.
Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara PLN Djoko Abumanan menyatakan, diskon tarif industri cukup efektif untuk menaikkan konsumsi industri. ’’Tahun lalu industri tumbuh tinggi,’’ ujarnya dikutip Jawa Pos, Rabu (27/2).
Pada 2018 realisasi pertumbuhan konsumsi listrik industri mencapai 6,45 persen. Angka tersebut lebih tinggi daripada realisasi pertumbuhan listrik nasional 2017 sebesar 5,14 persen. Sebenarnya, PLN telah memberlakukan diskon tarif 30 persen itu sejak 2016. Program yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid III tersebut berlangsung selama tiga tahun dan seharusnya berakhir pada akhir 2018.
Program tersebut diharapkan menggairahkan sektor industri yang harus menurunkan produksi, terutama sif malam, lantaran perlambatan ekonomi. Program itu diberikan kepada industri skala menengah dan besar dengan daya di atas 200 kVa. Pemanfaatan insentif tersebut diharapkan membuat industri menambah investasi dan peningkatan produksi.
Selain itu, PLN mengeluarkan paket penundaan pembayaran 40 persen rekening listrik sebagai program jangka pendek, yakni enam dan sepuluh bulan kepada industri padat karya. Saat ini pertumbuhan konsumsi listrik industri terbesar berada di Jawa Tengah, setelah itu Jawa Timur.
’’Sekarang pertumbuhan Jatim dikalahkan Jateng. Industri banyak yang pindah ke sana (Jateng),’’ jelasnya.
Hal tersebut menjadi salah satu indikator perkembangan industri di sebuah wilayah. Selain listrik, perkembangan industri didukung transportasi jalan tol, pelabuhan, maupun kemudahan perizinan.
Secara keseluruhan, pendapatan PLN memang masih terkonsentrasi di Jawa dengan dominasi 70 persen. Lalu, Sumatera 20 persen dan 10 persennya di wilayah Indonesia Timur. ’’Jawa itu klusternya terbesar di Jawa Barat, lalu Jateng, kemudian Jatim,’’ katanya.
Sementara itu, Analis Energy Finance Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi menilai, regulasi yang tidak menarik dan justru menjadi penghambat adalah faktor stagnannya penggunaan energi surya atap di tanah air. Salah satu regulasi yang menghambat adalah tarif ekspor listrik 65 persen ke PLN.
Seharusnya, agar bisa menarik pengguna pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTSA), tarif ekspor listrik ke PLN juga harus 100 persen. ’’Agar equal karena di negara-negara ASEAN lainnya pun 100 persen. Di Vietnam mereka menggunakan skema tarif yang menarik,’’ katanya.
Saat ini kapasitas listrik tenaga surya atap di Indonesia baru mencapai 80 MW. Angka itu jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Thailand yang memiliki kapasitas listrik tenaga surya atap 2,6 gw, bahkan Filipina 868 mw. Padahal, Indonesia memiliki potensi 500 gw sumber tenaga surya. Vietnam pun juga menggenjot penggunaan listrik tenaga surya.
Vietnam menargetkan kapasitas terpasang listrik tenaga surya dapat mencapai 3 ribu mw pada 2020. Sementara itu, Indonesia baru mencapai 900 mw pada 2028. Padahal, penggunaan listrik tenaga surya atap bisa menghemat pembayaran tarif listrik. Sebagai contoh, biaya pemasangan solar atap untuk kapasitas 2.200 VA mencapai Rp 46,53 juta.
Jika menggunakan skema ekspor tarif 65 persen oleh PLN, akan ada penghematan biaya pembayaran tarif listrik Rp 642.857 per bulan. Dengan begitu, investasi di awal tersebut akan kembali selama enam tahun. Tetapi, jika pembayaran oleh PLN dilakukan 100 persen, penghematan tarif per bulan bisa mencapai Rp 658.390 per bulan dan investasi bisa kembali selama 5,89 tahun.
Sumber : https://ift.tt/2TiDXs9
Komentar
Posting Komentar